Saturday, October 10, 2015

Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan


Mengamati Lingkungan

Perhatikan kutipan dari buku Van Miert berikut ini:

“Pada 31 Oktober 1920 anggota dari dua perhimpunan pelajar terbesar di Hindia Belanda, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond berkumpul di sebuah ruangan di Batavia untuk mendengarkan pidato P. Fournier, seorang pimpinan gerakan teosofi Hindia. Itu adalah pertemuan pertama Studiegroep PolitiekWetenshappen (Kelompok Studi Ilmu Politik)...” Kepala yang dingin dan hati yang gembira”.

Begitulah Fournier menyimpulkan kualitas-kualitas terpenting yang wajib dipunyai seorang pemimpin politik. Hati yang gembira maksudnya adalah cinta yang menggelora pada tanah air, hasrat yang menyala-nyala untuk bekerja demi kemajuan bangsa.” Begitulah jiwa politik yang diharapkan oleh Fournier kepada para pelajar. Bagi Fournier, dalam sosok seorang politikus diperlukan kepala yang dingin, jangan sampai terbawa oleh situasi dan kondisi yang ada oleh pergolakan politik yang ada pada jamannya (Kamu dapat membaca lebih lanjut Hans van Miert, 2003).

Nah, cobalah kamu renungkan dan pahami teks yang dimuat pada tulisan diatas!

  1. Cobalah kalian buat analisis kritis, mengenai sosok politikus di Indonesia yang memiliki jiwa dan semangat “kepala yang dingin dan hati yang gembira”!
  2. Diskusikan dengan teman sekelasmu bagaimanakah perkembangan politik di Indonesia saat ini?


Bagaimanakah sikap kalian jika menjadi seorang politikus kelak, langkah-langkah apakah yang akan kalian ambil untuk menjaga kehormatan bangsa dan negara dalam percaturan dunia? Coba bandingkan perjuangan masa pergerakan kebangsaan yang dimulai pada tahun 1908!

Memahami Teks

1. Organisasi Awal Pergerakan

a. Budi Utomo

Pada awal abad ke-20, di Nusantara muncul bermacam-macam kelompok dan organisasi yang mempunyai konsep nasionalisme, seperti Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarekat Islam), Budi Utomo (BU), Jong Java, Jong Celebes, Jong Minahasan, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya. Munculnya organisasi- organisasi itu mendanai fase perubahan perlawanan pada pemerintah kolonial Belanda. Kalau sebelumnya berupa perlawanan fisik kedaerahan menjadi pergerakan nasional yang bersifat modern. Organisasi-organisasi itu mengusung tujuan yang sama, yakni untuk lepas dari penjajahan. Budi Utomo
Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan
Budi Utomo

Boedi Oetomo (BO) atau Budi Utomo (BU) adalah pergerakan nasional yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, di Jakarta. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin Sudirohusodo. BU didirikan dengan tujuan untuk menggalang dana untuk menolong anak-anak bumiputra yang kekurangan dana. Namun ide itu kurang memperoleh dukungan dari Kaum Tua. Ide dr. Wahidin itu lalu diterima dan kembangkan oleh Sutomo. Seorang mahasiswa School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (STOVIA). Sutomo kemudian dipilih sebagai ketua organisasi itu. Sebagian besar pendiri BU adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo, dan RT Ario Tirtokusumo. Pada tanggal 29 Agustus 1908, dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan BU di Yogyakarta.

Para tokoh pendiri BU berpendapat bahwa untuk mendapatkan kemajuan, maka pendidikan dan pengajaran wajib menjadi perhatian utama. Organisasi itu memiliki corak sebagai organisasi modern, yaitu memiliki pimpinan, ideologi dan keanggotaan yang jelas. Corak baru itu lalu diikuti oleh organisasi-organisasi lain yang membawa pada perubahan sosial-politik. Organisasi BU bersifat kooperatif pada pemerintah kolonial Belanda. BU bersifat tidak membedakan agama, keturunan, dan jenis kelamin. Pada mulanya organisasi ini orientasinya hanya sebatas pada kalangan priyayi, namun pancaran etnonasionalisme semakin terlihat saat dilaksanakan kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, di Yoyakarta.

Dalam kongres itu dibahas mengenai dua prinsip perjuangan, golongan muda menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sedangkan golongan tua mempertahankan cara lama yaitu perjuangan sosio-kultural.

Perdebatan itu tidak saja menyangkut tujuan BU tetapi juga pemakaian Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Perdebatan juga menyangkut tentang sikap menghadapi westernisasi. Radjiman berpendapat bahwa “Bangsa Jawa tetap Jawa” dan menunjukkan identitasnya yang masih Jawasentris.

Sementara Cipto Mangunkusuma berpendapat bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan Barat dan unsur-unsur lain sehingga dapat memperbaiki taraf kehidupannya. Cipto Mangunkusumo juga berpendapat bahwa sebelum memecahkan masalah budaya perlu diselesaikan masalah politik. Orientasi politik semakin menonjol di kalangan muda kemudian mencari organisasi yang cocok dengan mendirikan Sarekat Islam. Dalam perkembangannya, walaupun ada kelompok muda yang radikal, tetapi kelompok tua masih meneruskan cita-cita BU yang mulai disesuaikan dengan kondisi politik pada saat itu. Pada waktu dibentuk Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918, wakil-wakil BU duduk di dalamnya. Pemerintah dengan demikian tidak menaruh curiga sebab sifat BU yang moderat. Seorang pimpinan BU yang menyaksikan rapat. Bupati mengeluh mengenai mereka yang hanya ingin mempertahankan kedudukannya sebagai bupati karena warisan, sedangkan zaman mulai berubah. Agus Salim tidak lama setelah rapat Volksraad dibuka, berharap agar kaum kuno atau golongan konservatif itu bukan adalah golongan suara yang dominan dalam dewan itu.

Pemerintah Hindia Belanda mengakui BU sebagai organisasi yang sah pada Desember 1909. Dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda ini tidak lain sebagai bagian dari pelaksanaan Politik Etis. Sambutan baik pemerintah inilah yang menyebabkan BU sering dicurigai oleh kalangan bumiputera sebagai organ pemerintah. BU mulai kehilangan wibawanya pada tahun 1935, organisasi itu bergabung dengan organisasi lain menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Namun demikian, dengan segala kekurangannya BU telah mewakili aspirasi pertama rakyat Jawa ke arah kebangkitan dan juga aspirasi rakyat Indonesia. Keberadaan BO memberikan inspirasi untuk organisasi- organisasi modern lainnya, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Sedio Tomo, Muhammadiyah, dan lain-lain.

b. Sarekat Islam

Pada mulanya SI lahir sebab adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).

Perkumpulan itu memiliki tujuan untuk memberikan pertolongan pada para pedagang pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang Cina. Saat itu perdagangan batik mulai dari bahan baku dikuasai oleh pedagang Cina, sehingga pedagang batik pribumi semakin terdesak. Kegelisahan Tirtoadisuryo itu diutarakan pada H. Samanhudi. Atas dorongan itu H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo (1911). Pada mulanya SI memiliki tujuan untuk kesejahteraan sosial dan persamaan sosial. Mula-mula SI adalah gerakan sosial ekonomi tanpa menghiraukan masalah kolonialisme.

Jelaslah bahwa tujuan utama SDI adalah melindungi kegiatan ekonomi pedagang Islam agar dapat terus bersaing dengan pengusaha Cina. Agama Islam digunakan sebagai faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang Islam yang saat itu juga memperoleh tekanan dan kurang diperhatikan dari pemerintah kolonial. Sebagai perkumpulan dagang SDI lalu berpindah ke Surabaya yang adalah kota dagang di Indonesia. SDI selanjutnya dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang orator yang cakap dan bijak, kemampuannya berorator itu memikat anggota-anggotanya. Di bawah kepemimpinannya diletakkan dasar-dasar baru yang memiliki tujuan untuk memajukan semangat dagang bangsa Indonesia.

Disamping itu SDI juga memajukan rakyat dengan menjalankan hidup sesuai ajarana agama dan menghilangkan paham yang keliru mengenai agama Islam. SDI lalu berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913. Pada kongres SI yang pertama, tanggal 26 Januari 1913, dalam pidatonya di Kebun Bintang Surabaya, dia menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonomi pribumi agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi itu nampak sekali dengan didirikannya koperasi di Kota Surabaya. Di Surabaya pula berdiri PT. Setia Usaha, yang bergerak tidak saja menerbitkan surat kabar “Utusan Hindia”, juga bergerak di bidang penggilingan padi dan perbankan.

Usaha itu dimaksudkan untuk membebaskan kehidupan ekonomi dari ketergantungan bangsa asing. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, SI sudah memiliki cabang di bermacam-macam kota. Organisasi itu tumbuh menjadi besar. Kemajuan yang dicapai oleh SI itu dianggap ancaman untuk pemerintah kolonial. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan untuk menghambat laju pertumbuhan SI, yaitu cabang wajib berdiri sendiri dan terbatas daerahnya. Pemerintah kolonial tidak keberatan SI daerah mengadakan perwakilan yang diurus oleh pengurus sentral. Kemudian dibentuklah Central Sarikat Islam (CSI) yang mengorganisasikan 50 cabang kantor SI daerah.

Ketika pemerintah kolonial mengijinkan berdirinya partai politik, SI yang semula adalah organisasi nonpolitik berubah menjadi partai politik. SI mengirimkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat) dan memegang peran penting dalam Radicale Concentratie, yaitu gabungan perkumpulan yang bersifat radikal. Pemerintah kolonial yang dianggap cenderung kearah kapitalisme mulai ditentang. SI juga aktif mengorganisasi perkumpulan buruh. Dalam suatu pembukaan rapat Volksraad masih terekam dalam ingatan bersama kaum terpelajar bumiputera mengenai Janji November (November Beloofte). Dalam pidatonya itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengatakan bahwa dalam zaman baru hubungan pemerintah kolonial dan proses demokratisasi dimulai. Dia juga mengatakan, bila saatnya kelak

Volksraad menjadi dewan rakyat, sebuah lembaga untuk rakyat Hindia untuk menyampaikan hasrat untuk merdeka. Namun Volksraad tidak pernah menjadi badan rakyat Hindia, Volksraad tetap menjadi perangkat bagi pemerintah kolonial. Karena kecilnya capaian yang diraih oleh dewan rakyat itu, mendorong Cokroaminoto dan Agus Salim untuk mengubah aliran politik SI dari kooperatif ke nonkooperatif dan menolak ikut serta dalam setiap dewan rakyat yang didirikan pemerintah.

Dalam kongres SI tahun 1914, yang diselenggarakan di Yogyakarta Cokroaminoto dipilih sebagai pimpinan SI. Gejala konflik internal mulai kelihatan dan kewibawaan CSI mulai berkurang. Dalam kondisi itu Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI wajib dikutuk. Karena itu perpecahan wajib dihindari, persatuan, wajib dijaga sebab Islam sebagai unsur penyatu. Dalam kongres tahunan yang diselenggrakan SI pada tahun 1916, Cokroaminoto menyampaikan dalam pidatonya perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Pada tahun itu kongres pertama SI yang dihadiri oleh 80 anggota SI lokal dengan anggotanya sebanyak 36.000 orang. Kongres itu adalah Kongres Nasional sebab SI memiliki cita- cita supaya penduduk Indonesia menjadi satu nation atau suku bangsa, dengan kata lain mempersatukan etnis Indonesia menjadi bangsa Indonesia. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang politikus dan orator yang cerdas. Seorang pemuda yang tinggal indekost di rumahnya tertarik dengan cara berpidatonya. Setiap hari pemuda itu sering mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan di rumah Cokroaminoto. Ia juga meniru cara Cokro berpidato dengan berlatih pidato di balkon rumah Cokro. Kelak pemuda itu kita kenal sebagai seorang orator yang cerdas dan menjadi presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Sebelum kongres tahunan selanjutnya (1917) di Jakarta, muncul aliran revolusioner sosialis ditubuh SI, yang berasal dari SI Semarang yang dipimpin oleh Semaun. Kongres tetap berjalan dan memutuskan bahwa azas perjuangan SI adalah pemerintahan berdiri sendiri dan perjuangan melawan penjajahan dari kolonialisme. Sejak itu Cokroamitono dan Abdul Muis mewakili SI dalam Dewan Rakyat. SI semakin memperoleh simpati dari rakyat. Keanggotaannya pun semakin meningkat. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar ke tubuh SI. Sejak itulah pengaruh sosial-komunis masuk ke dalam tubuh SI pusat atau cabang-cabangnya. Sebagai organisasi besar SI sudah disusupi oleh orang-orang yang menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Vereninging (ISDV), seperti Semaun dan Darsono.

Pada kongres SI kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran yang diinginkan SI adalah ekonomi dogmatis yang diwakili oleh Semaun, yang kemudian dikenal dengan SI Merah beraliran komunis. Di sisi lain, SI menginginkan aliran nasional keagamaan yang diwakili oleh Cokroaminoto, yang lalu dikenal dengan SI Putih. Rupanya gejala perjuangan dua aliran itu tidak dapat dipersatukan. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Usulan itu sangat mengkhawatirkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh sebab itu, Tan Malaka meminta displin partai diadakan perkecualian untuk PKI. Namun demikian, disiplin partai dapat diterima oleh kongres dengan suara mayoritas. Konsekuensi dari itu Semaun dikeluarkan dari SI, sebab tidak boleh rangkap anggota. Dengan demikian, langkah pertama dari pengaruh PKI ke dalam tubuh SI sudah dapat diatasi.

Sementara itu dalam kongres di Madiun 1923, Central Sarekat Islam (CSI) diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), dan memberlakukan disiplin partai. Di lain pihak, SI yang memperoleh pengaruh PKI menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang adalah bentukan PKI. Azas perjuangan PSI adalah nonkooperasi maknanya oraganisasi itu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Namun organisasi itu mengijinkan anggotanya duduk di dalam Dewan Rakyat atas nama pribadi. Kongres PSI tahun 1927 menegaskan azas perjuangan organisasi itu adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasar agama Islam. Karena PSI menggabungkan diri dalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), nama PSI ditambah dengan Indonesia untuk menunjukkan perjuangan kebangsaan. Selanjutnya organisasi itu bernama Partai Sarikat Islam Indonesia (1927). Maka muncullah pengaruh positif untuk perkembangan nasionalisme PSI. Perubahan nama itu berkaitan dengan kedatangan Sukiman yang baru datang dari Belanda. Dalam konggres Pemuda tahun 1928, PSII aktif mengambil bagian dalam PPPKI.

Banyaknya anggota muda dalam PSII membawa perbedaan paham antara golongan muda dengan golongan tua. Pada 1932, timbulah perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Muncullah Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah Dr. Sukiman yang berpusat di Yogyakarta. Agus Salim dan A.M. Sangaji mendirikan Barisan Penyedar yang berusaha menyadarkan diri sesuai dengan tuntutan zaman. Persatuan dalam PSII tidak dapat dipertahankan lagi, Sukiman kemudian memisahkan diri yang diikuti oleh Wiwoho, Kasman Singodimedjo dll. Pada tahun 1940, Sekar Maji Kartosiwiryo mendirikan PSII tandingan terhadap PSII yang dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Akibat perpecahan itu PSII mengalami kemunduran. Peranannya sebagai Partai Islam kemudian dilanjutkan oleh Partai Islam Indonesia yang adalah lanjutan dari PARII di bawah pimpinan Dr. Sukiman.

c. Indische Partij (IP)

Indische Partij adalah organisasi politik yang anggota-anggotanya berasal dari keturunan campuran Belanda-pribumi (Indo-Belanda) dan orang asli pribumi. Munculnya organisasi ini sebab adanya sejumlah golongan orang Indo-Belanda yang dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada orang Belanda asli (totok). Secara hukum mereka itu masuk dalam bangsa kelas I, sebab kedudukan ayahnya yang orang Belanda. Namun demikian secara sosial sebab ibunya orang pribumi mereka anggap lebih rendah oleh golongan Belanda totok. Sejumlah orang dari golongan Indo Belanda itu kemudian mendirikan perkumpulan Indische Bond (1898). E.F.E Douwes Dekker yang lalu berganti nama Dr. Danudirjo Setiabudhi berkeinginan untuk melanjutkan Indische Bond sebagai organisasi politik yang kuat.

Keinginan Douwes Dekker itu semakin menguat saat dia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Mereka lalu dikenal dengan “Tiga Serangkai”. Douwes Dekker adalah cucu Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, seorang penulis Max Havelaar yang membela petani Banten dalam masa Tanam Paksa. Dia seorang campuran ayah Belanda dan ibunya Indo. Pengalaman hidupnya itulah yang menjiwai gerak politiknya. Kedekatannya dengan buruh perkebunan kopi, saat dia menjadi pengawas perkebunan di Jawa, yang menjadi alasan pemerintah Kolonial Belanda untuk memecatnya.

Kondisi itulah yang mendorong ia untuk mendirikan organisasi yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan untuk Indie (istilah Indonesia pada saat itu). Bersama-sama dengan Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo maka dibentuklah Indische Partij (IP) pada tahun 1912. Keinginan IP untuk mewujudkan cita-citanya itu memperoleh respon positif dari masyarakat saat itu. Keanggotaan IP berkembang dengan pesat. Sebagai seorang koresponden surat kabar de Locomotief di Semarang, kemudian harian Soerabajasch Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, dan akhirnya di majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Expres, Douwes Dekker dengan mudah dapat mengutarakan gagasannya. Dia berpendapat hanya melalui kesatuan aksi melawan kolonial dapat mengubah sistem yang berlaku. Ia juga berpendapat bahwa setiap gerakan politik haruslah memiliki tujuan akhir, yaitu kemerdekaan. Pendapat itulah yang lalu ditulis dalam Het Tijdschrift dan De Expres. Kedekatan Douwes Dekker dengan pelajar STOVIA di Jakarta membuka peluang untuk pemuda terpelajar saat itu untuk menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, saat dia menjadi redaktur surat kabar itu. Pengaruh BU juga mendasari jiwa Douwes Dekker saat dia melakukan propaganda ke seluruh Jawa dari tanggal 15 September hingga 3 Oktober 1912. Dalam perjalanannya itu ia menyelenggarakan rapat-rapat dengan elit lokal di Yogjakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Tegal, Semarang, Pekalongan, dan Cirebon. Dalam pertemuannya dengan para tokoh elit BU itu Douwes Dekker mengajak membangkitkan semangat golongan bumiputera untuk menentang penjajah.

Kunjungannnya itu menghasilkan tanggapan positif di kota-kota yang dikunjunginya. Dari itulah IP lalu mendirikan 30 cabang dengan jumlah anggota 730 orang. Kemudian terus bertambah hingga mencapai 6000 orang yang terdiri atas orang Indo dan bumiputera. Dalam Anggaran Dasar IP disebutkan, untuk membangun patriotisme Bangsa Hindia kepada tanah airnya yang sudah memberikan lapangan hidup, dan menganjurkan kerjasama untuk persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Bagi pemerintah kolonial keberhasilan IP mendapat simpatisan dari masyarakat adalah suatu yang berbahaya. Organisasi itu kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan berbahaya (pertengahan 1913). Pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang. Douwes Dekker diasingkan ke Timor, Kupang. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Bkamu. Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka. Tiga Serangkai itu kemudian dibuang ke Negeri Belanda.

Pembuangan Tiga Serangkai itu membawa akibat luas, tidak saja di Hindia Belanda, akan tetapi juga di Negara Belanda. Di Hindia Belanda, keberadaan mereka semakin mendorong bumiputera untuk memperjuangkan hak-haknya. Sementara di Negeri Belanda menjadi perdebatan politik di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Belanda mengenai pergerakan rakyat Indonesia.

Karena alasan kesehatan, pada 1914 Cipto Mangunkusumo dipulangkan ke Indonesia. Douwes Dekker dipulangkan pada 1917 dan Ki Hajar Dewantoro dipulangkan pada 1918. Setelah IP dibubarkan dan pimpinannya menjalankan pembuangan organisasi itu lalu bernama Insulinde. Namun organisasi itu kurang memperoleh sambutan dari masyarakat. Kemudian tahun 1919 berganti nama menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922), sebagai badan perjuangan kebudayaan dan perjuangan politik.

2. Organisasi Keagamaan

Pada abad ke-19, muncul gerakan pembaruan di negara-negara Islam, di Asia Barat. Pemikiran itu adalah reaksi atas tantangan Barat. Gerakan itu berpusat di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dengan pimpinan Jamaluddin Al Afghani. Pengaruh gerakan itu sampai di Indonesia dengan tokoh-tokohnya Muhammad Iqbal dan Amir Ali. Reformasi Islam dapatlah dikatakan sebagai gerakan emansipasi keagamaan, yaitu dengan perbaikan kaum muslim melalui pendidikan yang sedapat mungkin sejajar dengan pendidikan barat. Di Jakarta, tahun 1905, berdiri perkumpulan Jamiyatul khair yang mendirikan sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Sekolah modern itu disamping mengajarkan agama juga mengajarkan pelajaran berhitung, sejarah, geografi, dll.

a. Muhammadiyah

Keberadaan organisasi BU sudah memberikan inspirasi kepada KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah orgaisasi yang bersifat modern bernama Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912, bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Salah satu tujuan pendirian Muhammadiyah adalah memurnikan ajaran Islam. Islam seharusnya berasal pada Al-Quran dan Al-Hadis. Tindakannya adalah amar makruf nahimunkar, atau mengajak hal baik dan mencegah hal yang jelek. Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain dengan manajemen organisasi modern, pendirian lembaga pendidikan dan dakwah melalui media atau surat kabar.
Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan

Sistem pendidikan dibangunnya dengan cara menggabungkan cara tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama yang dilakukan di dalam kelas. Dalam bidang kemasyarakatan organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu yang dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk kepedulian sosial dan tolong membantu sesama muslim.

Selanjutnya organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiah di Yogyakarta, sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiah. Nama ‘Aisyiyah terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri nabi Muhammad yang dikenal taat beragama, cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung ekonomi rumah tangga. Diharapkan profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah. ‘Aisyiyah yang masih eksis sampai kini didirikan sebagai pembaru peran kaum perempuan, terutama di bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah berdiri, perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan karena dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai peran kemasyarakatan. ‘Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki- laki sama-sama memiliki kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, termasuk melalui bidang pendidikan.

b. Nahdlatul Ulama (NU)

Pembaruan Islam yang dilakukan di kota-kota mendorong kaum tua yang ingin mempertahankan tradisi mereka untuk mendirikan organisasi. Reaksi positif dari golongan tradisionalisme adalah lahirnya organisasi di kalangan mereka. Saat itu kebetulan bertepatan dengan akan dilakukannya Kongres Islam sedunia (1926), di Hijaz. ulama terkemuka saat itu lalu membentuk lembaga yang bernama Jam’iyatul Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. Tujuan organisasi ini terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan

Pada dasarnya NU tidak berurusan dengan problem politik. Dalam kongres yang diadakan di Surabaya, 28 Oktober 1928, diambil keputusan untuk menentang kaum reformis dan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Paham Wahabi. Pada gilirannya pertentangan antara kaum reformis dan tradisionalis itu tidak saja dapat dikurang, mereka bahkan melakukan kerjasama dalam melaksanakan perubahan. NU termasuk organisasi yang giat mengubah tradisi berkhutbahnya dari berbahasa Arab menjadi bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh jamaahnya. Perubahan itu lalu dapat memberikan akibat yang positif untuk pengikutnya. Perubahan cara berpikir pun mulai terlihat yang lalu diikuti dengan perbaikan organisasi secara lebih modern, lembaga-lembaga sosial mulai didirikan, seperti rumah sakit, rumah yatim piatu, serta sekolah-sekolah. Yang tidak kalah penting dalam konteks Indonesia adalah bangkitnya nasioalisme modern, yaitu nasionalisme non kesukuan yang adalah modal penting dalam terbentuknya negara- bangsa di lalu hari

Pada tahun 1935, NU berkembang dengan pesat, NU sudah memiliki 68 cabang dengan jumlah anggota 6.700. Pada tahun 1938, dalam kongresnya di Menes, Pandeglang, Banten, NU berusaha untuk dapat memperluas pengaruhnya ke seluruh Jawa. Kongres selanjut di Surabaya, tahun 1940, diputuskan untuk mendirikan Wanita Nahdlatul Ulama Muslimat dan pemudanya dibentuklah Organisasi Ansor.

c. Organisasi Islam lainnya

Gerakan Islam modern juga dilakukan keturunan Arab di Indonesia. Pada tahun 1914 didirikan perkumpulan Al-Irsyad oleh Syekh Ahmad Surkati. Dia berkeinginan agar pendidikan agama Islam dilakukan sejak dini dan diajarkan terus menerus. Juga dikembangkannya ukhuwwah Islamijah di antara pemeluk agama Islam. Banyaknya keturunan Arab yang berdomisili di Indonesia, mendorong A.R. Baswedan untuk mendirikan Partai Arab Indonesia pada tahun 1934. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sebagai tanah airnya, sebab mereka dilahirkan dari seorang perempuan Indonesia. Di Sumatra Barat, berdiri Sumatra Thawalib. Organisasi itu didirikan oleh kalangan pemuda Sumatra Barat, tahun 1918. Para pemuda itu mendapat pendidikan Islam di Mekah. Mereka belajar pada Syekh Akhmad Khatib, ketika kembali ke Sumatera Barat, mereka membawa pemikiran Islam modern yang digerakan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Organisasi itu memiliki tujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang berguna untuk kemajuan dan kesejahteraan menurut ajaran Islam. Kemudian organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia yang memperluas tujuan, yaitu Indonesia Merdeka dan Islam Jaya.

Organisasi itu khususnya bergerak dalam bidang pendidikan dan politik. Secara cepat pengaruh organisasi itu meluas di Sumatera Barat. Sebagai organisasi politik yang radikal, Thawalib lalu dilarang untuk beraktivitas oleh pemerintah pada tahun 1936.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah, organisasi ini didirikan oleh ulama-ulama di Sumatera Barat yang tidak setuju dengan Thawalib, antara lain Syekh Sulaiman ar Rasuly. Kegiatan organisasi itu terutama bergerak di bidang pendidikan, yaitu dengan mendirikan madrasah. Mereka juga membuat majalah sebagai fasilitas menyalurkan gagasan dan ide-ide kemajuan, antara lain Suara Tarbiyatul Islamiyah (SUARTI), Al Mizan, dan Perti Bulanan. Setelah kemerdekaan organisasi itu bernama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI). Organisasi yang sejalan dengan PERTI adalah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT). Organisasi PMT ini didirikan oleh Syekh Musthafa Purba, baru pada tahun 1930 juga sebab tidak sepaham dengan Thawalib.

Selanjutnya di Bandung berdiri Persatuan Islam (PERSIS). Organisasi itu muncul sebagai reaksi dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair, pada tahun 1923 oleh Kiai Hasan. Organisasi itu memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran beragama dan semangat ijtihat dengan melaksanakan dakwah dan pembentukan kader melalui madrasah dan sekolah.

Di Kalimantan Selatan juga berdiri organisasi yang adalah kelanjutan dari SI. Usaha SI di bidang pendidikan dilanjutkan dengan mendirikan madrasah Daru Salam. Madrasah ini dilengkapi dengan asrama dan sawah sebagai tempat untuk belajar hidup mandiri para santri.

Kegagalan SI juga mendorong masyarakat Aceh untuk melanjutkan perjuangan SI, maka didirikanlah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi itu dibentuk oleh Tengku M.Daud Beureureh pada 5 Mei 1939. Tujuan organisasi itu meningkatan pendidikan agar terlaksana syari’at Islam dalam masyarakat. Kemudian Nahdatul Wathan yang juga merupakan organisasi kelanjutan SI di Nusa Tenggara barat. Organisasi itu juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran beragama. Perhatian utama organisasi itu adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.

d. Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI)

MIAI adalah gabungan dari organisasi politik dan beberapa organisasi massa yang bersifat moderat pada Belanda. Golongan Muslim yang tergabung dalam organisasi memilih sikap nonkooperasi terhadap pemerintahan kolonial. Saat Jepang berkuasa, organisasi ini mendapat kelonggaran menjalankan aktivitasnya, sementara aktivitas organisasi yang lain dilarang. Karena MIAI dilihat sebagai organisasi yang anti barat. Suatu saat seluruh pemuka agama diundang oleh Gunsikan, Mayor Jenderal Okazaki ke Jakarta. Mereka diajak untuk bertukar pendapat. Pertemuan itu menghasilkan MIAI wajib menambah azas dan tujuannya. Kegiatan MIAI menyelenggarakan badan amal dan peringatan hari keagamaan.

Sebagai organisasi yang diakui Jepang MIAI dianggap kurung memuaskan pemerintah Jepang. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’aruf, K.H Hasyim, Kartosudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainal Arifin.

3. Organisasi pemuda

Di samping organisasi keagamaan juga berkembang organisasi dan partai politik. Organisasi itu masih bersifat kedaerahan dan menentang kolonialisme. Organisasi itu memiliki tujuan untuk kebangsaan dan cinta tanah air. Pada kalangan pemuda berkembang bermacam-macam gerakan untuk membebaskan tanah air dari penjajahan. Tri Koro Dharmo, didirikan di Jakarta pada 7 Maret 1915. Organisasi itu didirikan di Gedung Kebangkitan Nasional dengan ketua dr. Satiman Wiryosanjoyo. Perkumpulan itu beranggotakan pemuda-pemuda Jawa. Dalam kongresnya di Solo organisasi itu berubah nama Jong Java. Kemudian pada 1920-an Jong Java mulai melaksanakan perubahan pandangan dari kedaerahan ke nasional. Setelah Sumpah Pemuda dia berfusi dalam Indonesia Moeda.

Pemuda Sumatera juga mendirikan persatuan pemuda Sumatera yang dikenal dengan Jong Sumatera Bond. Organisasi itu dirikan pada 1917, di Jakarta. Persatuan itu memiliki tujuan untuk memperkukuh hubungan antarpelajar yang berasal dari Sumatera. juga menumbuhkan kesadaran di antara anggotanya, dan membangkitkan kesenian Sumatera. Tokohnya adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin.

Perkumpulan yang lainnya dibentuk berdasar daerah yang ada, antara lain Jong Minahasa, Jong Celebes, dan Jong Ambon. Perkumpulan ini kemudian berfusi dalam Indonesia Muda. Di samping itu juga muncul Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada 1925, oleh mahasiswa Jakarta dan Bandung. Tujuan PPPI adalah kemerdekaan tanah air Indonesia Raya. Organisasi bersifat anti-imperialisme. Di Bandung pada tahun 1927, berdiri Jong Indonesia. Berbeda dengan organisasi-organisasi pemuda sebelumnya, organisasi ini sudah bersifat nasional. Organisasi itu lalu berganti nama Pemuda Indonesia dan organisasi wanitanya bernama Putri Indonesia.

Pada tahun 1926, diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta yang dihadiri oleh organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan itu. Meskipun dalam Kongres I itu belum menghasilkan keputusan penting, namun setidaknya benih-benih kebangsaan dan nasionalisme sudah ditanamkan pada saat itu.

4. Organisasi Wanita

Organisasi wanita yang berkembang sebelum tahun 1920, lebih menekankan pada perbaikan status sosial di dalam keluarga. Organisasi itu juga menekankan pada pentingnya pendidikan dan masih bersifat kedaerahan. Pada tahun 1912, berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta. Organisasi itu memiliki tujuan untuk menolong bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut pelajaran dan mengemukakan pendapat dimuka umum, serta memperbaiki hidup wanita sebagai manusia yang mulia. Berbagai aktivitas dilakukan organisasi itu, terutama memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan majalah wanita Putri Mardika. Beberapa tokoh yang pernah duduk dalam kepengurusan Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo.

Kartini Fonds, didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang penasehat Politik Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan sekolah Kartini. Pada tahun 1913- 1915 berdiri berbagai organisasi wanita, terutama di Jawa dan Minangkabau. Fokus perhatian mereka adalah mendobrak semua tradisi yang mengungkung wanita dan keinginan memajukan mereka. Corak pergerakan wanita pada mulanya untuk berbaikan kedudukan dalam kehidupan berumah tangga dengan memperbaiki pendidikan dan mempertinggi kecakapan wanita. Sebagai contoh pada tahun 1913 berdiri Kautamaan Istri di Tasikmalaya yang bertujuan mendirikan sekolah anak-anak remaja putri, sekolah perempuan di Cianjur (1916), Ciamis (1916), Sumedang (1916), dan Cicurug (1918). Selanjutnya juga berdiri sekolah-sekolah Kartini di Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), dan kota-kota lain. Sementara itu, di Sumatera Barat didirikan Kerajinan Amai Setia (KAS), yang diketua Rohana Kudus. Organisasi itu memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat wanita dengan belajar membaca dan menulis, baik huruf Arab maupun Latin. Juga belajar membuat kerajinan tangan, mengatur rumah tangga, dan pada 1914 Kerajinan Amai Setia itu berhasil mendirikan sekolah perempuan pertama di Sumatera Barat.

Munculnya organisasi-organisasi wanita di bermacam-macam daerah itu mendorong pergerakan wanita untuk lebih berperan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan. Organisasi itu pun tumbuh semakin banyak. Di Jawa misalnya terbentuk Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919). Organisasi-organisasi lainnya pun merasa perlu untuk membentuk organisasi wanita sebagai bagiannya, seperti SI yang kemudian mendirikan Sarekat Siti Fatimah di Garut (1918). Organisasi dan partai lalu memberikan perhatian yang besar pada organisasi wanita.

Mereka berpandangan, bahwa melalui organisasi wanita itulah peran pertama sebagai pendidikan anak-anak dapat dilakukan. Dengan demikian cita-cita perjuangan dan kemerdekaan disampaikan sejak dini pada anak- anak.

Seiring meningkatnya pendidikan pada kaum perempuan, semakin meningkat pula perkumpulan-perkumpulan wanita. Mereka tidak saja bergerak dalam bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Perkumpulan kaum wanita ini juga lahir sebagai organisasi wanita dari organisasi-organisasi pergerakan yang sudah ada. Organisasi yang dimaksud misalnya ‘Aisyiah. Sejak itu, saat K.H. Ahmad Dahlan mendirikan dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah, juga mendorong dan memberikan pertolongan pada kaum wanita Muhammadiyah untuk mendalami dan mengamalkan ajaran agama Islam. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah bergabung dalam organisasi Sopo Tresno, yang lalu berganti nama menjadi Aisyiah, dengan Nyai Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan jumlah anggota mencapai 5000 orang dan memiliki 47 cabang dengan 50 kring. Aisyiah mempunyai sekolah perempuan sebanyak 32 sekolahan dengan 75 guru.

Selanjutnya muncul bermacam-macam organisasi wanita di bermacam-macam tempat. Tahun 1920 di Gorontalo berdiri organisasi Gorontalosche Muhammedaansche Vrouwen Vereninging. Pada tahun itu juga Sarekat Kaum Ibu Sumatera di Bukittinggi mendirikan Nahdatul Fa’at di Sumatera Barat. Wanita Utama (1921) dan Wanita Khatolik (1924) didirikan di Yogyakarta. Sarekat Ambon mendirikan INA TUNI (1927) di Ambon, Wanita Taman Siswa (1922), Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (1925), dan Putri Indonesia (1927). Di Manado berdiri organisasi Puteri Setia (1928), Wanita Perti bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Mameskransje Help Elkander (Sahati) di Jakarta.

5. Partai Komunis Indonesia

Dalam kongres nasional SI yang pertama penggabungan prinsip Islam dan sosialisme dibicarakan. Sosialisme dilihat sebagai simbol modern yang berlawanan dengan imperialisme. Suatu paham yang dilihat dapat membawa keadilan sosial, kemakmuran, dan kemerdekaan bangsa terjajah. Sementara itu di Belanda, Sneevliet, Brandstrder, dan Dekker mendirikan ISDV. Mereka berusaha mencari kontak dengan IP dan SI untuk mendekati rakyat tetapi tidak berhasil.

Untuk mendapatkan pengaruh yang luas di kalangan masyarakat Indonesia, Sneevliet berusaha memasukkan ajaran-ajaran komunis kepada masyarakat. Pilihan Sneevliet agar dapat menguasai masyarakat yaitu melalui organisasi yang memiliki wibawa dan pengaruh yang luas, maka dipilihlah SI. Pada waktu itu SI adalah organisasi dengan pengaruh yang cukup kuat di kalangan penduduk bumiputera. Anggotanya adalah kalangan pemuda dan berpikiran radikal. Pengikut ISDV lalu membentuk fraksi dalam tubuh SI.

Cepatnya pengaruh komunis di Indonesia mencerminkan buruknya perekonomian dan hubungan antara gerakan politik dan pemerintah Belanda. Radikalisme kaum komunis menyebabkan pemerintah Belanda mengusir kaum komunis Belanda untuk pergi dari Indonesia. Dengan kepergian kaum komunis itu maka terjadilah pergantian pimpinan. Tahun 1920 organisasi itu lalu berganti nama Partai Komunis Hindia dan tahun 1924 berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Komunisme mudah menarik untuk kaum terjajah, sebab mereka beranggapan segara terbebas dari penjajah. Itulah sebabnya komunisme dapat dengan cepat menyebarkan pengaruhnya ke masyarakat Indonesia. Pada saat bersamaan pemerintah Belanda mengadakan penangkapan pada orang PKI yang mengadakan aksi politik. Semaun dan Darsono melarikan diri ke Rusia. Kedudukan pimpinan PKI digantikan oleh Tan Malaka. Karena keterlibatan SI dan PKI dalam pemogokan besar-besaran pada tahun 1922, maka Tan Malaka dan Abdul Muis ditangkap dan diasingkan. PKI selanjutnya bergabung dengan Comintern (Communist International).

SI lalu terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih dibawah H. Agus Salim memutuskan hubungan dengan PKI. Meskipun prinsip persatuan dipegang teguh dalam menghadapi pemerintah, tetapi sebab kondisi sosio politik menguntungkan PKI bila terus diadakan kerjasama, maka Cokroaminoto pada tahun 1923 melakukan “disiplin partai”. Penerapan disiplin itu melarang anggota SI merangkap sebagai anggota PKI.

PKI memperoleh dukungan dari kalangan buruh. Sebagai akibat dari depresi ekonomi pada 1923, kaum buruh yang bergabung dalam Vereeninging voor Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP) mendesak melaksanakan pemogokan untuk menuntut kenaikan upah. Pemogokan itu diikuti oleh buruh percetakan dan juru mudi di Semarang. Pemogokan di Semarang meluas hingga ke Surabaya. Akibat pemogokan itu pimpinan PKI Semaun dan Darsono diusir dari Indonesia. Pada tahun 1926-1927 pemimpin PKI melakukan pemberontakan, pimpinannya lalu dibuang ke Boven Digul. Tindakan itu adalah penyimpangan dari pola-pola kaum terpelajar, dengan semangat Kebangkitan Nasional.

6. Perhimpunan Indonesia: Manifesto Politik

Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di Belanda mendirikan organisasi yang bernama Indische Vereniging (1908), yaitu perkumpulan Hindia, yang beranggotakan orang-orang Hindia, Cina dan Belanda. Organisasi itu didirikan oleh R.M Notosuroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Husein Jajadiningrat. Semula organisasi itu bergerak di bidang sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran mengenai situasi tanah air. Organisasi itu juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera. Banyaknya pemuda-pemuda pelajar di tanah Hindia yang dibuang ke Belanda, semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu. Dalam perkembangan selanjutnya perkumpulan itu mengedepankan masalah-masalah politik.

Jiwa kebangsaan yang semakin kuat diantara mahasiswa Hindia di Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya perkumpulan itu berganti nama Indonesische Vereeniging (1925), dengan pimpinan Iwa Kusuma Sumatri, JB. Sitanala, Moh.Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama perhimpunannya diganti lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI). Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama Indonesia Merdeka. Itu semua adalah usaha baru dalam memberikan identitas nasioalis yang muncul di luar tanah air. Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang mereka dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan.

Perhimpoenan Indonesia semakin memperoleh simpatik dari para mahasiswa Indonesia di tanah Belanda. Jumlah keanggotaannya pun semakin bertambah banyak. Tahun 1926 jumlah anggota mencapai 38 orang. Di tanah Belanda itulah para mahasiswa itu menyerukan pada semua pemuda di Indonesia Hindia untuk bersatu padu dalam setiap gerakan-gerakan mereka. PI bersemboyan “ self reliance, not mendiancy”, yang berarti tidak meminta- minta dan menuntut-nuntut. Dalam Anggaran Dasarnya juga disebutkan, bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh melalui aksi bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia berdasar kekuatan sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan tidak mungkin diadakan kerjasama (nonkoperasi). Bangsa Indonesia wajib mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung pada bangsa lain.

PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani sebab pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan Sumber: Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-193, 2003. Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians ( sarjana Jerman) yang diambil dari Logan (sarjana Inggris). Namun yang dimaksud Bastians dengan konsep Indonesia, adalah Indonesia secara etnografi, bukan konsep Indonesia seperti saat ini. selanjutnya dalam rapat-rapat menjelang kemerdekaan pandangan etnografi dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan mengenai nasion yang saat itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan wilayahnya.

Para pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda lalu menggunakan Indonesia sebagai identitas dirinya, tanah airnya, dan nasionnya, serta posisi politiknya. Karena itulah Organisasi IndischeVereeniging berganti nama ke Perhimpoenan Indonesia.

Hatta dalam memoarnya menuturkan,” ....Langkah pertama untuk memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama “INDONESIA” tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. orang-orang Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut “Hindia Belanda”, kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan atau dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan- tulisan mereka keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka menyebut “INDONESIA”. Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam pimpinan agenda Kongres, nama Indonesia sudah terekam, tidak dapat ditukar kembali dengan “Indes Neerlandises”.” kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja dilakukan di Belanda dan Indonesia, juga dilakukan secara internasional. Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melaksanakan kritik pada pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera.

Dengan demikian jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia merupakan manifesto politik pergerakan Indonesia. Karena Perhimpunan itu lahir di negeri asing yang saat itu menjadi penjajah tanah Hindia. Dari tempat penjajah itulah perkumpulan pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan semangat dan panji-panji kemerdekaan Indonesia. jelaslah bahwa para pemuda Indonesia tidak takut untuk membela dan berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya dengan segala resikonya.

7. Taman Siswa 

Awalnya, Taman Siswa bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu Taman Siswa hanya memiliki 20 siswa kelas Taman Indria. Namun, lalu Taman Siswa berkembang pesat dengan memiliki 52 cabang dengan siswa kurang lebih 65.000 siswa. Demi mempertahankan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara rela melelang beberapa barangnya untuk membayar pajak. Sebuah idealisme dan cita-cita memang wajib dibayar mahal. Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Hkamuyani”. Artinya, “guru di depan harus memberi contoh atau teladan, di tengah wajib bisa menjalin kerjasama, dan di belakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para siswanya.” Azas ini masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan. Taman Siswa mendobrak sistem pendidikan Barat dan pondok pesantren, dengan mengajukan sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan kebudayaan asli Indonesia.

Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undang-Undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932 yakni larangan mengajar untuk guru-guru yang terlibat partai politik. Taman siswa mampu memberikan kontribusi yang luar biasa untuk masyarakat luas dengan pendidikan, Taman Siswa mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini sekolah Taman Siswa masih berdiri dan tetap berperan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.

8. Organisasi Buruh

Perkumpulan Adhi Dharma yang didirikan oleh Suryopranoto (kakak Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1915 berperan sebagai organisasi yang membela kepentingan kaum buruh, termasuk menolong para buruh yang dipecat untuk mendapat pekerjaan baru dan menolong keuangan mereka selama mencari pekerjaan.

Pada bulan Agustus 1918, Suryopranoto membentuk gerakan kaum buruh bernama Prawiro Pandojo ing Joedo atau Arbeidsleger (tentara buruh) yang adalah cabang dari Adhi Dharma. Organisasi ini didirikan sebagai akibat dari terjadinya aksi perlawanan kaum buruh pabrik gula di Padokan (sekarang pabrik gula Madukismo), Bantul, Yogyakarta.

Bulan November 1918, Suryopranoto mendeklarasikan berdirinya Personeel Fabriek Bond (PFB) yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan koperasi yang lalu lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan anggota kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. PFB didirikan untuk membela kepentingan kaum buruh yang terus mengalami penindasan. Bersama PFB, Suryopranoto memimpin banyak aksi mogok kerja untuk menuntut peningkatan kesejahteraan untuk kaum buruh. Pada tahun 1918 Adi Dharma menjadi bagian dari Sarekat Islam (SI), maka Personeel Fabriek Bond (PFB) yang terbentuk dalam tahun itu otomatis berada di bawah perlindungan Central Sarekat Islam (CSI).

Sepulang dari pembuangan penjara Sukamiskin, Suryopranoto dan Adhi Dharma turut berkiprah sebagai pengajar di Taman Siswa, lembaga pendidikan untuk kaum bumiputera yang didirikan oleh sang adik, Suwardi Suryaningrat, yang saat itu sudah berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.

KESIMPULAN


  1. Pendidikan tidak saja dilihat sebagai perangkat menuju ke arah pembaruan masyarakat, peningkatan kecerdasan, dan perangkat bagi terbukanya mobilititas sosial tetapi juga mampu membangun ruh nasionalisme.
  2. Tumbuhnya ruh nasionalisme di kalangan kaum terpelajar, kaun terdidik, sudah mendorong berkembangnya semangat kebangsaan di berbagai kalangan dan kelompok masyarakat. Lahirlah kemudian berbagai bentuk organisasi pergerakan kebangsaan, sesuai dengan ideologi dan bidang yang diminati dan diyakini oleh para pendirinya. Lahirlah organisasi kebangsaan yang yang berpaham nasionalisme, kominisme, ada yang bergerak dalam bidang pendidikan, melalui bidang agama, ada organisasi kaum buruh, dan juga organisasi yang diembangkan oleh para pemuda dan juga perempuan.
  3. Pada mulanya perjuangan pergerakan organisasi kebangsaan itu bersifat kedaerahan atau kelompok, namun paham kebangsaan dan nasionalisme sudah terlihat dalam tujuan dan cita-cita organisasi itu sehingga sifat kebangsaannya semakin berkembang.
  4. Secara khusus terdapat organisasi pergerakan yang lahir di negeri Belanda (yang menjajah Indonesia) yakni Perhimpunan Indonesia yang sudah merintis dan mempopulerkan semangat persatuan dan kesatuan (kerja sama), kemandirian, tidak bekerja sama dengan penjajah untuk kemerdekaan.


LATIH UJI KOMPETENSI


  1. Buatlah notulen mengenai organisasi pemuda yang ada pada saat ini di daerahmu. Buatlah dalam bentuk esai lima hingga tujuh lembar kertas folio. Bagaimana latar belakang dibentuknya? Siapa penggagas berdirinya? Kapan dan dimana dirikannya? Apakah tujuan didirikan organisasi itu?
  2. Jelaskan secara empiris fakor-faktor apa saja yang menyebabkan lahirnya perjuangan pergerakan organisasi kebangsaan?
  3. Bandingkan bentuk dan strategi perjuangan rakyat Indonesia pada masa sebelum tahun 1908 dan sesudah tahun 1908. Bandingkan pula strategi perjuangan antarorganisasi kebangsaan sesudah tahun 1908 dalam menghadapi kekuasaan kolonial. Buatlah jawaban kalian dalam bentuk esai!
  4. Jelaskan menurut pendapat kamu, mengapa para pemuda dan mahasiswa Hindia di Belanda memilih Indonesia sebagai nama organisasi mereka?

Sumber : Sejarah Indonesia kelas XI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

2 comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.